Semakin hari, kesibukan masyarakat kian bertambah besar sehingga tidak terdapat lagi waktu untuk mendengarkan sabda-sabda, maupun nasehat-nasehat guna pembentukan karakter para penerus bangsa.
melalui kesempatan ini, saya akan membagikan kumpulan renungan dharma singkat guna menjadi motivasi memperkaya wawasan dan tingkah laku kita.
semoga bermanfaat
http://www.4shared.com/mp3/pT6blciY/Kobalen_-_YOGA.html
http://www.4shared.com/mp3/q3ChWBzl/Kobalen_-_AGAMA_HINDU.html
http://www.4shared.com/mp3/BWvF4zFT/Kobalen_-_BERKAH_TUHAN.html
http://www.4shared.com/mp3/3HmsGhCh/Kobalen_-_CANANG_SARI.html
http://www.4shared.com/mp3/hNkw_gn_/Kobalen_-_CATUR_DHARMA.html
http://www.4shared.com/mp3/pjbtKuCy/Kobalen_-_CATUR_WEDA.html
http://www.4shared.com/mp3/YtU20pvm/Kobalen_-_DEWA_BATARA__TUHAN.html
http://www.4shared.com/mp3/Yx8GsZ_d/Kobalen_-_DIKSA.html
http://www.4shared.com/mp3/G7h7iwwX/Kobalen_-_FILOSOPHY_HINDU.html
http://www.4shared.com/mp3/8M_b3din/Kobalen_-_KERANGKA_DASAR_AGAMA.html
The Journey
Rabu, 16 Januari 2013
Kamis, 10 Januari 2013
MAHA SIWARATRI; Philosofy Malam Renungan Suci Nan Agung
MAHA berarti Agung, SIWA berarti Penuh Hikmat, RATRI berarti Malam. Sehingga MAHA SIWARATRI berarti Malam Agung Penuh Hikmat / Malam Renungan Suci.
Baik Nyepi maupun Maha Siwa Ratri, adalah suatu hal yang dapat di katakan hampir
Sama, karena kedua hari Suci tersebut di lakukan oleh Umat Hindu dalam mengintrospeksi
diri terhadap apa yang telah di perbuat serta berharap dapat menekan pengaruh
negatip untuk mencapai Tingkat Spiritual yang baik di masa mendatang.
Umat Hindu Pada malam Maha Siwa
Ratri akan melakukan renungan suci, dengan cara pengendalian pikiran dan
nurani dan di yakini personifikasi Tuhan sebagi Dewa Siwa,
mengambil wujud dalam bentuk Lingga.
Malam Renungan Suci ini bukanlah malam peleburan dosa, melainkan malam introsepeksi diri terhadap semua perbuatan
yang telah di lakukan selama ini.
Mauna Wirata adalah suatu cara
yang menyimbolkan satu keadaan kesatuan dengan Sang Diri. Mauna adalah di mana suatu
keadaan di luar wicara dan pikiran, yang mengharapkan kita dalam posisi hidup
tanpa perasaan Ego, yang akhirnya menimbulkan sepi atau diam sebagai media
pengajaran.
Mauna Amavasai (Tilam) sangat popular di lakukan oleh para Yogi satu hari sebelum mereka melakukan
mandi di Tirtha Sanggamam (perkumpulan 3 sungai suci yang tersebunyi).
Gangga, Yamuna dan Saraswati
yang di anggap mempunyai Hubungan yang sangat Erat dengan badan spiritual kita seperti Sushsuma, Pinggala dan Ida, untuk di bawa kedalam
keseimbangan dalam menjalankan Mauna Samadhi.
Mauna atau Diam adalah praktek
Spiritual Tinggi yang sangat di lakoni oleh Umat Budha Mahavira dalam pencarian
makna jati diri, Sementara dalam agama Hindu Mauna Menandai Sadhana.
Karena itu tokoh sekelas Mahatma
Gandhi selalu melakukan Sumpah diam setiap hari senin dan Aurobindo melakukan
tapa seperti ini selama 17 tahun sehingga melahirkan kesucian pada lidah mereka yang menjadikan mereka manusia menjadi seucap
Nyata pada hal-hal yang positif.
Yang menjadi pertanyaan banyak umat adalah Kenapa Siwa Ratri atau Maha Siwa
Ratri begitu disucikan, bahkan ada yang bertanya kenapa ada Siwa Ratri tapi tidak ada Brahma Ratri atau Visnu Ratri...???
Sekali lagi dikatakan bahwa, Maha Siwa Ratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan malam renungan
suci terhadap semua yang telah kita lakukan melalui Panca Maha Butha.
Mauna atau Diam adalah bentuk transformasi Inisiasi atau Diksha diri yang
paling tinggi.
Sivaya Subramaniyam, mengatakan bahwa Mauna / Mauni Wirata adalah satu hari
dari Sadhana Rohani yang akan membiasakan kita menenangkan pikiran yang
resah.
Mauna Wirata adalah suatu panggilan Sang Diri, mengenai kebutuhan untuk
melakukan dialog batin dengan diri sendiri serta awal dari perjalanan Spiritual
kita.
Swamy Siwananda mengatakan "Mauna wirata adalah sumpah diam sebagai salah satu
disiplin dasar spiritual bagi evolusi kehidupan suci manusia".
Para Maha Resi Vedanta mengatakan, Mauna Wirata mendefinisikan keadaan bebas dari
pikiran dan kunci bagi dimensi rohani,
yang membuat seorang menjadi saksi bagi pikirannya.
Mauna wirata adalah satu waktu yang Ideal untuk mengendalikan Vikshepa atau
kekacauan Pikiran dan memfokuskan perhatian “KE DALAM“, Untuk itu mari kita bersatu dalam renungan suci ini, semoga Shang Hyang Widi memberkahi semua perbuatan kita.
Semoga bermanfaat
Salam
A.S.Kobalen
Jumat, 25 Mei 2012
“ REVOLUSI KARAKTER ANAK BANGSA”
P
|
esta Demokrasi atau pemilu yang akan di gelar kurang lebih dua
tahun lagi, telah di jadikan polemik dan strategi oleh kelompok tertentu maupun
masyarakat umum dan semua partai telah menyiapkan calon presiden serta wakilnya
dan hal yang sama juga sedang dilakukan oleh Partai penguasa yang sudah 2 kali memimpin
agar berkuasa lagi.
Sebagai seorang Presiden yang
memimpin dua periode di era reformasi ini, tahu persis betapa banyaknya
kerancuan yang terjadi saat ini seperti Kasus Bank Century yang tidak kunjung
selesai, Kasus Mafia Pajak yang berusaha di selimuti dengan berbagai alasan dan
kasus - kasus penegakan hukum yang tebang pilih, Wisma atlit, Pembangunan
Hambalang, Kasus Diskriminasi etnis dan agama ( GKI Yasmin ), Lumpur Lapindo, Dll.
Sehingga era pemerintahan ini serasa begitu gamang dan tidak pasti seperti
negara tanpa pemimpin.
Kesenjangan Sosial ini dapat terlihat
dari pihak-pihak yang membantu Presiden WRONG
MAN IN THE RIGHT PLACE, termasuk
apa yang dikatakan oleh Ketua DPR RI yang selalu mengatakan tidak tahu tentang
apa yang sedang terjadi di Lembaga yang dipimpinnya, khususnya dalam hal, Renovasi
ruangan Banggar yang menelan 20 milyar, halaman parkir, dan Renovasi kamar
mandi yang semuanya dengan biaya milyaran rupiah, belum termasuk akan ditempatkannya
5 orang staf ahli pendukung untuk setiap anggota DPR - RI ( 5 x 560 = 2800 staf
ahli ) berapa lagi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk para wakil
rakyat, sementara apa yang telah mereka perjuangkan untuk rakyat yang telah
memilih dan menaruh harapan besar pada mereka...???
Tidak jelasnya karakter para pemimpin
negeri ini yang selalu berteori dalam menjalankan kebijakannya, dan membuat
dunia luar senang, menjadi kebangaan dan budaya baru pemerintahan saat ini. Sehingga
banyak kalangan menrgangap memang sudah saatnya Negeri ini melakukan PERUBAHAN TOTAL
melalui “ GERAKAN REVOLUSI KARAKTER BANGSA.”
Karakter
adalah suatu ciri, tingkah laku dan moral yang dapat membedakan seseorang
dengan orang lain. Karakter politisi tidak terlepas dari sejarah partainya,
oleh sebab itu dapat juga di katakan bahwa dewasa ini sulit mencari Pemimpin
yang berkarakter apalagi santun dan yang demokratis. Politisi yang berkuasa
kini rata-rata berusia 40--60 tahun. Mereka mengalami fase pematangan berpikir
dan bertindak sesuka hati dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, tanpa mendefinisikan
rakyat yang mana..?
Karakter
politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya, itu salah
satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan
meletakkan dasar-dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis,
aktualisasi karakter para aktor di panggung politik tidak serta-merta menjadi
demokratis. Budaya politik yang berkembang justru lebih cenderung egosentris,
baik itu berorientasi kepentingan pribadi maupun kelompok. Dengan gejala
egosentrisme yang menguat itu jelas karakter demokratis melemah, karena
karakter demokratis ditandai keterbukaan diri untuk memahami dan menerima
kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama, sedang dengan egosentrisme
yang diakui hanya kepentingan diri dan kelompok.
Kata
kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan yang didelegasikan ke
partai-partai politik. Jika rakyat bersikap kritis sudah mampu menjalankan
kontrol terhadap sepak terjang partai politik, hingga bisa menghukum partai
yang menyimpang dari amanah rakyat, budaya politik perlahan akan bergeser ke
arah lebih ideal. Pembentukan massa kritis sebagai kata kunci itu terletak pada
keberhasilan sektor pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa yang baik
dan Budaya politik ideal itu baru akan terwujud kalau kita berani melakukan GERAKAN REVOLUSI KARAKTER ANAK BANGSA
melalui pendidikan budi pekerti secara berkesinambungan sejak dari SD sampai tingkat
perguruan tinggi, sehingga proses pendidikan berfokus pada pembentukan jati
diri anak bangsa yang cinta tanah air dan melahirkan MOTTO NKRI Yang Pancasilais dan harga Mati.
Selasa, 07 Februari 2012
Masikah Politisi Kita Berkarakter ?
Ada orang bijak mengatakan bahwa; “berpendidikan itu sangat penting, namun yang lebih
penting lagi adalah berkarakter”.
Dewasa ini karakter politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya. Itu salah satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan meletakkan dasar dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis, aktualisasi karakter para aktor di panggung
politik tidak serta-merta
menjadi demokratis. Budaya politik yang berkembang
justru lebih cenderung egosentris, baik itu berorientasi kepentingan
pribadi maupun kelompok. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan
Plato dan diikuti oleh
teoritisi liberal abad ke18 dan 19 melihat
prestasi politik dari sudut moral atau
karakter. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi ( performance level )
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan
politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Sistem demokrasi Pancasila telah menempatkan rakyat sebagai alat control
parpol, politikus dan juga sebagai aspirasi dan sumber lahirnya para pemimpin yang pancasilais. Dalam proses memilih pemimpin sebagai calon Negarawan, rakyat terorginisir dalam sub struktur politik (Tokoh Masyarakat). Infra struktur Politikus (Elit
Politik / Politisi) dan supra struktur politik (Negarawan) Organisasi politik (PartaiPolitik)
sebagai pintu gerbang dari calon negarawan.
Setidaknya ada dua jenis karakter
yang perlu melekat pada diri seorang
politisi atau pemimpin yaitu karakter baik dan karakter kuat. Dengan gejala kedua karakter ini maka lahirlah karakter demokratis yang ditandai dengan
keterbukaan diri untuk memahamidan menerima kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama,
sedang dengan egosentrisme yang diakui hanya kepentingan
diri dan kelompok. Sejauh mana karakter politisi seperti ini akan mendominasi pentas politik kita,
mengingat rekrutmen politisi masa depan
yang dilakukan dewasa ini juga masih
terbentuk dalam budaya politik yang semakin parah. Belum lagi ditambah
banyaknya anggota dewan yang sering bolos pada saat rapat–rapat penting di
Dewan. Tindakan bolos dalam setiap
sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus, otomatis mengganggu jalannya rapat. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga
kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun tertunda. Dan ironisnya masih ada anggota dewan yang secara tegas menolak untuk penerapan
absensi elektronik alat rekam kehadiran
di DPR. Kebiasaan
seperti ini adalah bentuk tidak berkarakternya para politisi kita terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang telah memilih mereka. Menurut Syafi’i Ma’arif, karakter politisi
seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi,
yang keras-keras, tapi disiram dengan
air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga hal yaitu (Tahta, Harta
dan Wanita) (Republika, 27/5/2009).
"Semua politisi, fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi, dan Yang ada hanya Kepentingan demi keuntungan abadi."
Politisi lupa
bahwa Kata kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan
yang didelegasikan ke partai-partai
politik. Jika rakyat sudah semakin mampu menjalankan kontrol terhadap
sepak terjang partai politik, secara efektif hingga bisa menghukum partai yang menyimpang dari
amanah rakyat. Maka budaya politik perlahan akan bergeser ke arah
yang lebih ideal, dan hal ini adalah wujud nyata
dari keberhasilan sector pendidikan perpolitikan dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Mengandalkan sector pendidikan, berarti bisa satu generasi lagi kondisi
budaya politik ideal itu baru akan
terwujud “Itu pun kalau proses
pendidikan berfokus pada revolusi karakter bangsa dalam peningkatan peran politisi
yang berkarakter. Rendahnya
nilai-nilai moral
dan etika pada diri
politisi kita, baik yang sedang duduk sebagai anggota legilatif di DPR hingga DPRD kabupaten/kota,
DPD atau politisi
yang sedang berada di eksekutip dan
yudikatip, mereka tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin
memamerkan, kredibilitas dan
reputasinya sebagai politisi yang tidak berkarakter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi
tauladan, sebagai penyambung lidah rakyat yang diharapkan sebagai jembatan
aspirasi masyarakat malah harus ternoda
oleh perbuatan – perbuatan tidak terpuji yang seperti korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan lain-lainnya. Namun, bila
kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi,
mayoritas berasal dari lembaga Dewan dan Para
pengurus Parpol yang sedang menjabat, yang bahkan kerap dilakukan
secara berjama’ah. Suatu hal luar
biasa bahwa hampir semua politisi
fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya dalam kegiatan mereka sebagai
politisi yaitu “Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada
Lawan abadi dan Yang ada hanya
Kepentingan”yang memberikan peluang,
kebebasan serta membenarkan para politikus untuk melakukan apa saja demi kepentingan
pribadi, Kelompok dan partainya. Ini
saatnya para politisi kita menyadari
kekurangan ini dan berusaha kembali
kepemahaman pada kemurnian kepemimpinan yang terkandung di dalam nilai – nilai
pancasila dengan melibatkan
DUIT Yaitu, Doa, Usaha, Iman dan Takwa. Di era globalisasi saat ini dimana AIDS, Angkuh, Irih, Dengki dan Sirik sangat mempengaruhi perkembangan peradaban
manusia di semua lini kehidupan
dengan segala dampak negatifnya. Dihadapkan pada realitas perubahan
cepat sebagai akibat kemajuan pesat di bidang iptek, pemerintah melalui
penerapan program kembali ke-4 pilar bangsa
sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional. Kondisiini sudah selayaknya disikapi
dengan baik oleh para politisi yang menjalankan sistem
pemerintahan, yaitu terciptanya kesejahteraan, pangan, pendidikan dan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Realitas yang
terjadi saat ini bahwa peran politisi
dalam mengembangkan kemajuan
kearah kesejahteraan rakyat miskin dalam
rangka ketahanan nasional masih sangat terbatas. Salah satu sebabnya
adalah mulai memudarnya jiwa
nasionalisme yang seharusnya tertanam kuat dalam jiwa para politisi tersebut. Padahal untuk mencapai tingkat kesejahteraan suatu bangsa sangat
tergantung pada keputusan politik. Oleh karena
itu, permasalahan pokok yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan
karakter politisi guna
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sehingga dapat melahirkan patriot bangsa yang berwawasan nusantara, serta memiliki
moral Pancasilais, seperti moral
ketakwaan, kemanusiaan, kebersamaan dan kebangsaan serta moral keadilan.
Langganan:
Postingan (Atom)