Kamis, 10 Januari 2013

MAHA SIWARATRI; Philosofy Malam Renungan Suci Nan Agung


MAHA berarti Agung, SIWA berarti Penuh Hikmat, RATRI berarti Malam. Sehingga MAHA SIWARATRI berarti Malam Agung Penuh Hikmat / Malam Renungan Suci.

Baik Nyepi maupun Maha Siwa Ratri, adalah suatu hal yang dapat di katakan hampir Sama, karena kedua hari Suci tersebut di lakukan oleh Umat Hindu dalam mengintrospeksi diri terhadap apa yang telah di perbuat serta berharap dapat menekan pengaruh negatip untuk mencapai Tingkat Spiritual yang baik di masa mendatang.

Umat Hindu Pada malam Maha Siwa Ratri akan melakukan renungan suci, dengan cara pengendalian pikiran dan nurani dan di yakini personifikasi Tuhan sebagi Dewa Siwa, mengambil wujud dalam bentuk Lingga.

Malam Renungan Suci ini bukanlah malam peleburan dosa, melainkan malam introsepeksi diri terhadap semua perbuatan yang telah di lakukan selama ini.

Para orang suci di anak benua sudah meletakkan penekanan yang besar terhadap tata cara menjalankan hari – hari suci seperti ini, misalnya dengan melakukan Mauna Wirata.

Mauna Wirata adalah suatu cara yang menyimbolkan satu keadaan kesatuan dengan Sang Diri. Mauna adalah di mana suatu keadaan di luar wicara dan pikiran, yang mengharapkan kita dalam posisi hidup tanpa perasaan Ego, yang akhirnya menimbulkan sepi atau diam sebagai media pengajaran.

Mauna Amavasai  (Tilam) sangat popular di lakukan oleh para Yogi satu hari sebelum mereka melakukan mandi di Tirtha Sanggamam (perkumpulan 3 sungai suci yang tersebunyi).

Gangga, Yamuna dan Saraswati yang di anggap mempunyai Hubungan yang sangat Erat dengan badan spiritual kita seperti Sushsuma, Pinggala dan Ida, untuk di bawa kedalam keseimbangan dalam menjalankan Mauna Samadhi.

Mauna atau Diam adalah praktek Spiritual Tinggi yang sangat di lakoni oleh Umat Budha Mahavira dalam pencarian makna jati diri, Sementara dalam agama Hindu Mauna Menandai Sadhana.

Karena itu tokoh sekelas Mahatma Gandhi selalu melakukan Sumpah diam setiap hari senin dan Aurobindo melakukan tapa seperti ini selama 17 tahun  sehingga melahirkan kesucian pada lidah mereka yang menjadikan mereka manusia menjadi seucap Nyata pada hal-hal yang positif.

Yang menjadi pertanyaan banyak umat adalah Kenapa Siwa Ratri atau Maha Siwa Ratri begitu disucikan, bahkan ada yang bertanya kenapa ada Siwa Ratri tapi tidak ada  Brahma Ratri atau Visnu Ratri...???

Sekali lagi dikatakan bahwa, Maha Siwa Ratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan malam renungan suci terhadap semua yang telah kita lakukan melalui Panca Maha Butha.

Mauna atau Diam adalah bentuk transformasi Inisiasi atau Diksha diri yang paling tinggi.

Sivaya Subramaniyam, mengatakan bahwa Mauna / Mauni Wirata adalah satu hari dari Sadhana Rohani  yang akan membiasakan kita menenangkan pikiran yang resah.

Mauna Wirata adalah suatu panggilan Sang Diri, mengenai kebutuhan untuk melakukan dialog batin dengan diri sendiri serta awal dari perjalanan Spiritual kita.

Swamy Siwananda mengatakan "Mauna wirata adalah sumpah diam sebagai salah satu disiplin dasar spiritual bagi evolusi kehidupan suci manusia".

Para Maha Resi Vedanta mengatakan, Mauna Wirata mendefinisikan keadaan bebas dari pikiran dan  kunci bagi dimensi rohani, yang membuat seorang menjadi saksi bagi pikirannya.

Mauna wirata adalah satu waktu yang Ideal untuk mengendalikan Vikshepa atau kekacauan Pikiran dan memfokuskan perhatian “KE DALAM“, Untuk itu mari kita bersatu dalam renungan suci ini, semoga Shang Hyang Widi memberkahi semua perbuatan kita.

Semoga bermanfaat

Salam
A.S.Kobalen


Jumat, 25 Mei 2012

“ REVOLUSI KARAKTER ANAK BANGSA”


P
esta Demokrasi atau  pemilu yang akan di gelar kurang lebih dua tahun lagi, telah di jadikan polemik dan strategi oleh kelompok tertentu maupun masyarakat umum dan semua partai telah menyiapkan calon presiden serta wakilnya dan hal yang sama juga sedang dilakukan oleh Partai penguasa yang sudah 2 kali memimpin agar berkuasa lagi.

Sebagai seorang Presiden yang memimpin dua periode di era reformasi ini, tahu persis betapa banyaknya kerancuan yang terjadi saat ini seperti Kasus Bank Century yang tidak kunjung selesai, Kasus Mafia Pajak yang berusaha di selimuti dengan berbagai alasan dan kasus - kasus penegakan hukum yang tebang pilih, Wisma atlit, Pembangunan Hambalang, Kasus Diskriminasi etnis dan agama ( GKI Yasmin ), Lumpur Lapindo, Dll. Sehingga era pemerintahan ini serasa begitu gamang dan tidak pasti seperti negara tanpa pemimpin.


Kesenjangan Sosial ini dapat terlihat dari pihak-pihak yang membantu Presiden  WRONG MAN IN THE RIGHT PLACE,  termasuk apa yang dikatakan oleh Ketua DPR RI yang selalu mengatakan tidak tahu tentang apa yang sedang terjadi di Lembaga yang dipimpinnya, khususnya dalam hal, Renovasi ruangan Banggar yang menelan 20 milyar, halaman parkir, dan Renovasi kamar mandi yang semuanya dengan biaya milyaran rupiah, belum termasuk akan ditempatkannya 5 orang staf ahli pendukung untuk setiap anggota DPR - RI ( 5 x 560 = 2800 staf ahli ) berapa lagi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk para wakil rakyat, sementara apa yang telah mereka perjuangkan untuk rakyat yang telah memilih dan menaruh harapan besar pada mereka...???

Tidak jelasnya karakter para pemimpin negeri ini yang selalu berteori dalam menjalankan kebijakannya, dan membuat dunia luar senang, menjadi kebangaan dan budaya baru pemerintahan saat ini. Sehingga banyak kalangan menrgangap memang sudah saatnya Negeri ini melakukan PERUBAHAN TOTAL melalui “ GERAKAN REVOLUSI KARAKTER BANGSA.”

Karakter adalah suatu ciri, tingkah laku dan moral yang dapat membedakan seseorang dengan orang lain. Karakter politisi tidak terlepas dari sejarah partainya, oleh sebab itu dapat juga di katakan bahwa dewasa ini sulit mencari Pemimpin yang berkarakter apalagi santun dan yang demokratis. Politisi yang berkuasa kini rata-rata berusia 40--60 tahun. Mereka mengalami fase pematangan berpikir dan bertindak sesuka hati dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, tanpa mendefinisikan rakyat yang mana..?

Karakter politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya, itu salah satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan meletakkan dasar-dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis, aktualisasi karakter para aktor di panggung politik tidak serta-merta menjadi demokratis. Budaya politik yang berkembang justru lebih cenderung egosentris, baik itu berorientasi kepentingan pribadi maupun kelompok. Dengan gejala egosentrisme yang menguat itu jelas karakter demokratis melemah, karena karakter demokratis ditandai keterbukaan diri untuk memahami dan menerima kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama, sedang dengan egosentrisme yang diakui hanya kepentingan diri dan kelompok.

Kata kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan yang didelegasikan ke partai-partai politik. Jika rakyat bersikap kritis sudah mampu menjalankan kontrol terhadap sepak terjang partai politik, hingga bisa menghukum partai yang menyimpang dari amanah rakyat, budaya politik perlahan akan bergeser ke arah lebih ideal. Pembentukan massa kritis sebagai kata kunci itu terletak pada keberhasilan sektor pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa yang baik dan Budaya politik ideal itu baru akan terwujud kalau kita berani melakukan GERAKAN REVOLUSI KARAKTER ANAK BANGSA melalui pendidikan budi pekerti secara berkesinambungan sejak dari SD sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga proses pendidikan berfokus pada pembentukan jati diri anak bangsa yang cinta tanah air dan melahirkan MOTTO  NKRI Yang Pancasilais  dan harga Mati. 

Selasa, 07 Februari 2012

Masikah Politisi Kita Berkarakter ?


Ada orang bijak mengatakan bahwa; “berpendidikan itu sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah berkarakter”. Dewasa ini karakter politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya. Itu salah satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan meletakkan dasar dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis, aktualisasi karakter para aktor di panggung politik tidak serta-merta menjadi demokratis. Budaya politik yang berkembang justru lebih cenderung egosentris, baik itu berorientasi kepentingan pribadi maupun kelompok. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke18 dan 19 melihat prestasi politik dari sudut moral atau karakter. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi ( performance level ) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional. Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Sistem demokrasi Pancasila telah menempatkan rakyat sebagai alat control parpol, politikus dan juga sebagai aspirasi dan sumber lahirnya para pemimpin yang pancasilais. Dalam proses memilih pemimpin sebagai calon Negarawan, rakyat terorginisir dalam sub struktur politik (Tokoh Masyarakat). Infra struktur Politikus (Elit Politik / Politisi) dan supra struktur politik (Negarawan) Organisasi politik (PartaiPolitik) sebagai pintu gerbang dari calon negarawan. Setidaknya ada dua jenis karakter yang perlu melekat pada diri seorang politisi atau pemimpin yaitu karakter baik dan karakter kuat. Dengan gejala kedua karakter ini maka lahirlah karakter demokratis yang ditandai dengan keterbukaan diri untuk memahamidan menerima kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama, sedang dengan egosentrisme yang diakui hanya kepentingan diri dan kelompok. Sejauh mana karakter politisi seperti ini akan mendominasi pentas politik kita, mengingat rekrutmen politisi masa depan yang dilakukan dewasa ini juga masih terbentuk dalam budaya politik yang semakin parah. Belum lagi ditambah banyaknya anggota dewan yang sering bolos pada saat rapat–rapat penting di Dewan. Tindakan bolos dalam setiap sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus, otomatis mengganggu jalannya rapat. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun tertunda. Dan ironisnya masih ada anggota dewan yang secara tegas menolak untuk penerapan absensi elektronik alat rekam kehadiran di DPR. Kebiasaan seperti ini adalah bentuk tidak berkarakternya para politisi kita terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang telah memilih mereka. Menurut Syafi’i Ma’arif, karakter politisi seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi, yang keras-keras, tapi disiram dengan air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga hal yaitu (Tahta, Harta dan Wanita) (Republika, 27/5/2009).

"Semua politisi, fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi, dan Yang ada hanya Kepentingan demi keuntungan abadi."

Politisi lupa bahwa Kata kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan yang didelegasikan ke partai-partai politik. Jika rakyat sudah semakin mampu menjalankan kontrol terhadap sepak terjang partai politik, secara efektif hingga bisa menghukum partai yang menyimpang dari amanah rakyat. Maka budaya politik perlahan akan bergeser ke arah yang lebih ideal, dan hal ini adalah wujud nyata dari keberhasilan sector pendidikan perpolitikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengandalkan sector pendidikan, berarti bisa satu generasi lagi kondisi budaya politik ideal itu baru akan terwujud “Itu pun kalau proses pendidikan berfokus pada revolusi karakter bangsa dalam peningkatan peran politisi yang berkarakter. Rendahnya nilai-nilai moral dan etika pada diri politisi kita, baik yang sedang duduk sebagai anggota legilatif di DPR hingga DPRD kabupaten/kota, DPD atau politisi yang sedang berada di eksekutip dan yudikatip, mereka tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin memamerkan, kredibilitas dan reputasinya sebagai politisi yang tidak berkarakter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi tauladan, sebagai penyambung lidah rakyat yang diharapkan sebagai jembatan aspirasi masyarakat malah harus ternoda oleh perbuatan – perbuatan tidak terpuji yang seperti korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan lain-lainnya. Namun, bila kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi, mayoritas berasal dari lembaga Dewan dan Para pengurus Parpol yang sedang menjabat, yang bahkan kerap dilakukan secara berjama’ah. Suatu hal luar biasa bahwa hampir semua politisi fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya dalam kegiatan mereka sebagai politisi yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi dan Yang ada hanya Kepentingan”yang memberikan peluang, kebebasan serta membenarkan para politikus untuk melakukan apa saja demi kepentingan pribadi, Kelompok dan partainya. Ini saatnya para politisi kita menyadari kekurangan ini dan berusaha kembali kepemahaman pada kemurnian kepemimpinan yang terkandung di dalam nilai – nilai pancasila dengan melibatkan DUIT Yaitu, Doa, Usaha, Iman dan Takwa. Di era globalisasi saat ini dimana  AIDS, Angkuh, Irih, Dengki dan Sirik sangat mempengaruhi perkembangan peradaban manusia di semua lini kehidupan dengan segala dampak negatifnya. Dihadapkan pada realitas perubahan cepat sebagai akibat kemajuan pesat di bidang iptek, pemerintah melalui penerapan program kembali ke-4 pilar bangsa sebagai salah satu prioritas  pembangunan nasional. Kondisiini sudah selayaknya disikapi dengan baik oleh para  politisi yang menjalankan sistem pemerintahan, yaitu terciptanya kesejahteraan, pangan, pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Realitas yang terjadi saat ini bahwa peran politisi dalam mengembangkan kemajuan kearah kesejahteraan rakyat miskin dalam rangka ketahanan nasional masih sangat terbatas. Salah satu sebabnya adalah mulai memudarnya jiwa nasionalisme yang seharusnya tertanam kuat dalam jiwa para politisi tersebut. Padahal untuk mencapai tingkat kesejahteraan suatu bangsa sangat tergantung pada keputusan politik. Oleh karena itu, permasalahan pokok yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan karakter politisi guna peningkatan kesejahteraan rakyat. Sehingga dapat melahirkan patriot bangsa yang berwawasan nusantara, serta memiliki moral Pancasilais, seperti moral ketakwaan, kemanusiaan, kebersamaan dan kebangsaan serta moral keadilan.