Ada orang bijak mengatakan bahwa; “berpendidikan itu sangat penting, namun yang lebih
penting lagi adalah berkarakter”.
Dewasa ini karakter politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya. Itu salah satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan meletakkan dasar dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis, aktualisasi karakter para aktor di panggung
politik tidak serta-merta
menjadi demokratis. Budaya politik yang berkembang
justru lebih cenderung egosentris, baik itu berorientasi kepentingan
pribadi maupun kelompok. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan
Plato dan diikuti oleh
teoritisi liberal abad ke18 dan 19 melihat
prestasi politik dari sudut moral atau
karakter. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi ( performance level )
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan
politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Sistem demokrasi Pancasila telah menempatkan rakyat sebagai alat control
parpol, politikus dan juga sebagai aspirasi dan sumber lahirnya para pemimpin yang pancasilais. Dalam proses memilih pemimpin sebagai calon Negarawan, rakyat terorginisir dalam sub struktur politik (Tokoh Masyarakat). Infra struktur Politikus (Elit
Politik / Politisi) dan supra struktur politik (Negarawan) Organisasi politik (PartaiPolitik)
sebagai pintu gerbang dari calon negarawan.
Setidaknya ada dua jenis karakter
yang perlu melekat pada diri seorang
politisi atau pemimpin yaitu karakter baik dan karakter kuat. Dengan gejala kedua karakter ini maka lahirlah karakter demokratis yang ditandai dengan
keterbukaan diri untuk memahamidan menerima kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama,
sedang dengan egosentrisme yang diakui hanya kepentingan
diri dan kelompok. Sejauh mana karakter politisi seperti ini akan mendominasi pentas politik kita,
mengingat rekrutmen politisi masa depan
yang dilakukan dewasa ini juga masih
terbentuk dalam budaya politik yang semakin parah. Belum lagi ditambah
banyaknya anggota dewan yang sering bolos pada saat rapat–rapat penting di
Dewan. Tindakan bolos dalam setiap
sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus, otomatis mengganggu jalannya rapat. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga
kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun tertunda. Dan ironisnya masih ada anggota dewan yang secara tegas menolak untuk penerapan
absensi elektronik alat rekam kehadiran
di DPR. Kebiasaan
seperti ini adalah bentuk tidak berkarakternya para politisi kita terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang telah memilih mereka. Menurut Syafi’i Ma’arif, karakter politisi
seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi,
yang keras-keras, tapi disiram dengan
air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga hal yaitu (Tahta, Harta
dan Wanita) (Republika, 27/5/2009).
"Semua politisi, fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi, dan Yang ada hanya Kepentingan demi keuntungan abadi."
Politisi lupa
bahwa Kata kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan
yang didelegasikan ke partai-partai
politik. Jika rakyat sudah semakin mampu menjalankan kontrol terhadap
sepak terjang partai politik, secara efektif hingga bisa menghukum partai yang menyimpang dari
amanah rakyat. Maka budaya politik perlahan akan bergeser ke arah
yang lebih ideal, dan hal ini adalah wujud nyata
dari keberhasilan sector pendidikan perpolitikan dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Mengandalkan sector pendidikan, berarti bisa satu generasi lagi kondisi
budaya politik ideal itu baru akan
terwujud “Itu pun kalau proses
pendidikan berfokus pada revolusi karakter bangsa dalam peningkatan peran politisi
yang berkarakter. Rendahnya
nilai-nilai moral
dan etika pada diri
politisi kita, baik yang sedang duduk sebagai anggota legilatif di DPR hingga DPRD kabupaten/kota,
DPD atau politisi
yang sedang berada di eksekutip dan
yudikatip, mereka tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin
memamerkan, kredibilitas dan
reputasinya sebagai politisi yang tidak berkarakter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi
tauladan, sebagai penyambung lidah rakyat yang diharapkan sebagai jembatan
aspirasi masyarakat malah harus ternoda
oleh perbuatan – perbuatan tidak terpuji yang seperti korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan lain-lainnya. Namun, bila
kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi,
mayoritas berasal dari lembaga Dewan dan Para
pengurus Parpol yang sedang menjabat, yang bahkan kerap dilakukan
secara berjama’ah. Suatu hal luar
biasa bahwa hampir semua politisi
fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya dalam kegiatan mereka sebagai
politisi yaitu “Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada
Lawan abadi dan Yang ada hanya
Kepentingan”yang memberikan peluang,
kebebasan serta membenarkan para politikus untuk melakukan apa saja demi kepentingan
pribadi, Kelompok dan partainya. Ini
saatnya para politisi kita menyadari
kekurangan ini dan berusaha kembali
kepemahaman pada kemurnian kepemimpinan yang terkandung di dalam nilai – nilai
pancasila dengan melibatkan
DUIT Yaitu, Doa, Usaha, Iman dan Takwa. Di era globalisasi saat ini dimana AIDS, Angkuh, Irih, Dengki dan Sirik sangat mempengaruhi perkembangan peradaban
manusia di semua lini kehidupan
dengan segala dampak negatifnya. Dihadapkan pada realitas perubahan
cepat sebagai akibat kemajuan pesat di bidang iptek, pemerintah melalui
penerapan program kembali ke-4 pilar bangsa
sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional. Kondisiini sudah selayaknya disikapi
dengan baik oleh para politisi yang menjalankan sistem
pemerintahan, yaitu terciptanya kesejahteraan, pangan, pendidikan dan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Realitas yang
terjadi saat ini bahwa peran politisi
dalam mengembangkan kemajuan
kearah kesejahteraan rakyat miskin dalam
rangka ketahanan nasional masih sangat terbatas. Salah satu sebabnya
adalah mulai memudarnya jiwa
nasionalisme yang seharusnya tertanam kuat dalam jiwa para politisi tersebut. Padahal untuk mencapai tingkat kesejahteraan suatu bangsa sangat
tergantung pada keputusan politik. Oleh karena
itu, permasalahan pokok yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan
karakter politisi guna
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sehingga dapat melahirkan patriot bangsa yang berwawasan nusantara, serta memiliki
moral Pancasilais, seperti moral
ketakwaan, kemanusiaan, kebersamaan dan kebangsaan serta moral keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar