Selasa, 07 Februari 2012

Masikah Politisi Kita Berkarakter ?


Ada orang bijak mengatakan bahwa; “berpendidikan itu sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah berkarakter”. Dewasa ini karakter politisi memang sukar terlepas dari budaya politik yang membentuknya. Itu salah satu penyebab, meski telah sewindu lebih kita menjalani reformasi dengan meletakkan dasar dasar hukum dan kelembagaan politik yang demokratis, aktualisasi karakter para aktor di panggung politik tidak serta-merta menjadi demokratis. Budaya politik yang berkembang justru lebih cenderung egosentris, baik itu berorientasi kepentingan pribadi maupun kelompok. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke18 dan 19 melihat prestasi politik dari sudut moral atau karakter. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi ( performance level ) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional. Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Sistem demokrasi Pancasila telah menempatkan rakyat sebagai alat control parpol, politikus dan juga sebagai aspirasi dan sumber lahirnya para pemimpin yang pancasilais. Dalam proses memilih pemimpin sebagai calon Negarawan, rakyat terorginisir dalam sub struktur politik (Tokoh Masyarakat). Infra struktur Politikus (Elit Politik / Politisi) dan supra struktur politik (Negarawan) Organisasi politik (PartaiPolitik) sebagai pintu gerbang dari calon negarawan. Setidaknya ada dua jenis karakter yang perlu melekat pada diri seorang politisi atau pemimpin yaitu karakter baik dan karakter kuat. Dengan gejala kedua karakter ini maka lahirlah karakter demokratis yang ditandai dengan keterbukaan diri untuk memahamidan menerima kepentingan pihak lain sebagai kepentingan bersama, sedang dengan egosentrisme yang diakui hanya kepentingan diri dan kelompok. Sejauh mana karakter politisi seperti ini akan mendominasi pentas politik kita, mengingat rekrutmen politisi masa depan yang dilakukan dewasa ini juga masih terbentuk dalam budaya politik yang semakin parah. Belum lagi ditambah banyaknya anggota dewan yang sering bolos pada saat rapat–rapat penting di Dewan. Tindakan bolos dalam setiap sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus, otomatis mengganggu jalannya rapat. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun tertunda. Dan ironisnya masih ada anggota dewan yang secara tegas menolak untuk penerapan absensi elektronik alat rekam kehadiran di DPR. Kebiasaan seperti ini adalah bentuk tidak berkarakternya para politisi kita terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang telah memilih mereka. Menurut Syafi’i Ma’arif, karakter politisi seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi, yang keras-keras, tapi disiram dengan air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga hal yaitu (Tahta, Harta dan Wanita) (Republika, 27/5/2009).

"Semua politisi, fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi, dan Yang ada hanya Kepentingan demi keuntungan abadi."

Politisi lupa bahwa Kata kunci perubahan berada pada rakyat, pemilik kekuasaan yang didelegasikan ke partai-partai politik. Jika rakyat sudah semakin mampu menjalankan kontrol terhadap sepak terjang partai politik, secara efektif hingga bisa menghukum partai yang menyimpang dari amanah rakyat. Maka budaya politik perlahan akan bergeser ke arah yang lebih ideal, dan hal ini adalah wujud nyata dari keberhasilan sector pendidikan perpolitikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengandalkan sector pendidikan, berarti bisa satu generasi lagi kondisi budaya politik ideal itu baru akan terwujud “Itu pun kalau proses pendidikan berfokus pada revolusi karakter bangsa dalam peningkatan peran politisi yang berkarakter. Rendahnya nilai-nilai moral dan etika pada diri politisi kita, baik yang sedang duduk sebagai anggota legilatif di DPR hingga DPRD kabupaten/kota, DPD atau politisi yang sedang berada di eksekutip dan yudikatip, mereka tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin memamerkan, kredibilitas dan reputasinya sebagai politisi yang tidak berkarakter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi tauladan, sebagai penyambung lidah rakyat yang diharapkan sebagai jembatan aspirasi masyarakat malah harus ternoda oleh perbuatan – perbuatan tidak terpuji yang seperti korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan lain-lainnya. Namun, bila kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi, mayoritas berasal dari lembaga Dewan dan Para pengurus Parpol yang sedang menjabat, yang bahkan kerap dilakukan secara berjama’ah. Suatu hal luar biasa bahwa hampir semua politisi fanatik dengan tiga azas yang telah membudaya dalam kegiatan mereka sebagai politisi yaitu Tidak ada Kawan abadi, Tidak ada Lawan abadi dan Yang ada hanya Kepentingan”yang memberikan peluang, kebebasan serta membenarkan para politikus untuk melakukan apa saja demi kepentingan pribadi, Kelompok dan partainya. Ini saatnya para politisi kita menyadari kekurangan ini dan berusaha kembali kepemahaman pada kemurnian kepemimpinan yang terkandung di dalam nilai – nilai pancasila dengan melibatkan DUIT Yaitu, Doa, Usaha, Iman dan Takwa. Di era globalisasi saat ini dimana  AIDS, Angkuh, Irih, Dengki dan Sirik sangat mempengaruhi perkembangan peradaban manusia di semua lini kehidupan dengan segala dampak negatifnya. Dihadapkan pada realitas perubahan cepat sebagai akibat kemajuan pesat di bidang iptek, pemerintah melalui penerapan program kembali ke-4 pilar bangsa sebagai salah satu prioritas  pembangunan nasional. Kondisiini sudah selayaknya disikapi dengan baik oleh para  politisi yang menjalankan sistem pemerintahan, yaitu terciptanya kesejahteraan, pangan, pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Realitas yang terjadi saat ini bahwa peran politisi dalam mengembangkan kemajuan kearah kesejahteraan rakyat miskin dalam rangka ketahanan nasional masih sangat terbatas. Salah satu sebabnya adalah mulai memudarnya jiwa nasionalisme yang seharusnya tertanam kuat dalam jiwa para politisi tersebut. Padahal untuk mencapai tingkat kesejahteraan suatu bangsa sangat tergantung pada keputusan politik. Oleh karena itu, permasalahan pokok yang perlu dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan karakter politisi guna peningkatan kesejahteraan rakyat. Sehingga dapat melahirkan patriot bangsa yang berwawasan nusantara, serta memiliki moral Pancasilais, seperti moral ketakwaan, kemanusiaan, kebersamaan dan kebangsaan serta moral keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar